Kamis, 21 November 2013

Fenomena Mahasiswa

“Assalamu’alaikum warrohmatullah”  aku mengucapkan salam, menandakan telah selesai menunaikan ibadah sholat Isya’. Hari ini begitu melelahkan, namun perasaan lelah ini terus bercampur dengan perasaan senang. Wajar saja, aku baru tiba dirumah sehabis nongkrong dan makan mie susu, bersama teman-teman kampus.
            Teman-teman kampus, lebih tepatnya teman-teman mahasiswa. Ada beragam mahasiswa di Indonesia ini, dari berbagai macam latar belakang suku dan keluarga. Dari berbagai provinsi mulai dari Aceh sampai Papua. Bersatu di dalam sebuah kampus, dengan masing-masing dari mereka membawa nama baik dirinya, keluarga, dan daerahnya. Mahasiswa generasi penerus bangsa.
            Mahasiswa itu, menanggung beban yang berat di pundaknya. Memegang amanah dari orang tua untuk belajar sungguh-sungguh, mencetak prestasi sebanyak-banyaknya kemudian lulus secepat nya serta mendapatkan predikat nilai terbaik untuk segera diterima kerja. Bagaimana dengan mahasiswa pengusaha? Sama saja. Tentunya setelah lulus kuliah, atau pada masa kuliah sudah mampu menyediakan lapangan kerja.
            “Mungkinkah masa depan gemilang akan kita raih, kalau sehabis kuliah kita langsung pulang? Atau nongkrong? Atau sekedar berkumpul dan berhura-hura tanpa menghasilkan sesuatu hal yang segar?” Tanyaku tajam kepada diriku sendiri. Sejenak aku terdiam dan tersentak dengan pertanyaan ini. Perlahan ku telaah lagi, apa maksud dari kata hatiku ini. Kemudian titik terang pun merangkak muncul. Jawabannya adalah mungkin saja, tapi berapa persen kemungkinannya? Berapa waktu yang dihabiskan untuk mencapai sukses? Dan berapa banyak orang yang seperti ini akan sukses? Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi. Biarkan sajalah ini menjadi misteri.
            Satu hal yang aku pelajari dari pertanyaan itu. Tidak semua orang merasa seperti itu, mungkin dari sekian banyak mahasiswa di Indonesia ini, hanya aku lah yang bertanya seperti itu kepada diriku sendiri, malam ini. Tapi tak mengapa, toh aku menemukan jawabannya. Aku hanyalah seorang manusia yang banyak kekurangan, yang terlalu sombong dan menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain. Sangat egois sampai tidak menghargai orang lain. Pernah aku belajar bahwa, ketika aku tidak menghargai orang lain, berarti aku kurang menghargai diriku sendiri.. Ternyata itu sangat benar!
            Terkadang, ada sedikit mahasiswa diluar sana yang aktif dalam organisasi. Bisa dibilang hanya 5-7 orang yang benar-benar bergerak dan berjuang, dari 1000 orang mahasiswa di kampus. 10-25 orang yang hanya ikut-ikutan organisasi, tanpa memetik satupun pelajaran disana. Kemudian sekitar 80-100 orang mahasiswa yang bekerja dan mau dipimpin oleh orang lain. Sisanya bisa dibilang, mahasiswa pasif yang kerjaannya hanya mengeluh ini itu tanpa berbuat apa-apa.
            Mengapa bisa terjadi?
            Pengaruh positif seseorang itu mudah sekali menular, apalagi pengaruh negatif. Ibarat pengaruh positif adalah kereta api, maka pengaruh negatif adalah pesawat terbang. Satu orang provokator yang mengompori mahasiswa untuk membenci dosen dan mata kuliahnya lebih diminati dari pada sepuluh mahasiswa yang aktif menyuarakan aspirasi. Fenomena yang terlihat pada mahasiswa zaman sekarang.
            Terkadang, mahasiswa yang menyuarakan katanya “aspirasi rakyat” juga tidak benar-benar peka untuk mendengarkan suara rakyat. Mereka juga tidak benar-benar peduli dan tergerak hatinya untuk membantu, atau mungkin Cuma sekedar mengetahui dengan pasti kondisi masyarakat saat ini pun mereka enggan. Kebanyakan dari mereka, yang hanya terbatas jumlahnya ini mengetahui kondisi rakyat ya dari media. Atau mungkin mereka tau dari “bisikan” oknum politik yang bebas berkeliaran di dunia kampus.
            Sambil menikmati teh hangat, dan beberapa kue kering aku hanya bisa menggelengkan kepala. Ada beberapa mahasiswa yang ingin menyuarakan aspirasi, ternyata hanya ditunggangi oleh kepentingan yang tak bertanggung jawab. Apa jadi nya bangsa ini kalau semua mahasiswanya seperti itu?? Oh, mungkin tidak akan terjadi apa-apa. Negeri ini tidak akan berubah. Berjalan ditempat, sedangkan negeri lain telah berlari mengejar kemajuan zaman.
            Kupikir, ini wajar saja terjadi. Namanya saja mahasiswa, yang kuliahnya dibatasi waktunya selama 4 tahun. Apalagi kampus negeri, akan dengan senang hati men-drop out mahasiswanya yang tidak segera menyelesaikan study. Mahasiswa harusnya begini, mahasiswa harusnya begitu, banyak sekali tuntutan yang ditujukan kepada mahasiswa, tuntutan-tuntutan ini menyesatkan.
            Sedangkan mahasiswa pasif, dengan santainya menikmati indahnya masa kuliah. Sehabis belajar satu mata kuliah, mereka pergi ke kantin, kemudian ke kos. Tugas selalu nyontek, kuliah juga kadang titip absen. Herannya, kuliahnya bisa selesai tepat waktu. Walau kuliahnya terlihat malas-malasan. Tapi jangan salah, mahasiswa yang seperti ini kadang suka diterima kerja di perusahaan besar, menjadi pembesar perusahaan, atau menjadi seorang pejabat di pemerintahan.
            Ada juga mahasiswa pasif yang lulusnya terlambat, yah karena kebodohannya sendiri. Terlalu santai dan menganggap remeh temeh semua hal. Kemudian, terhambat lulus dan kena getahnya. Untungnya, mahasiswa jenis ini kena getahnya pada saat menjadi mahasiswa. Jadinya maklum, karena mereka bisa memperbaiki diri sedini mungkin. Orang-orang ini yang suksesnya lebih cepat di kehidupan nyata.
            Kampus itu simulasi kehidupan. Ada banyak faktor2 di dunia nyata dikesampingkan dulu di dunia simulasi. Dunia simulasi itu dunia yang aman, sedangkan dunia nyata itu dunia yang keras. Sekarang, mahasiswa yang manakah yang menyadari kerasnya dunia nyata itu lebih dulu? Yang tau dan mau berubah, serta pandai menyesuaikan diri. Dialah yang survive.
Di dunia primitif, yang kuatlah yang bertahan. Tampaknya sekarang juga masih berlaku.

By. Bara Lavashva

Provokator mahasiswa, Generasi Berbahaya Kampus STIEBBANK Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar