“Assalamu’alaikum
warrohmatullah” aku mengucapkan salam,
menandakan telah selesai menunaikan ibadah sholat Isya’. Hari ini begitu
melelahkan, namun perasaan lelah ini terus bercampur dengan perasaan senang.
Wajar saja, aku baru tiba dirumah sehabis nongkrong dan makan mie susu, bersama
teman-teman kampus.
Teman-teman kampus, lebih tepatnya
teman-teman mahasiswa. Ada beragam mahasiswa di Indonesia ini, dari berbagai
macam latar belakang suku dan keluarga. Dari berbagai provinsi mulai dari Aceh
sampai Papua. Bersatu di dalam sebuah kampus, dengan masing-masing dari mereka
membawa nama baik dirinya, keluarga, dan daerahnya. Mahasiswa generasi penerus
bangsa.
Mahasiswa itu, menanggung beban yang
berat di pundaknya. Memegang amanah dari orang tua untuk belajar
sungguh-sungguh, mencetak prestasi sebanyak-banyaknya kemudian lulus secepat
nya serta mendapatkan predikat nilai terbaik untuk segera diterima kerja.
Bagaimana dengan mahasiswa pengusaha? Sama saja. Tentunya setelah lulus kuliah,
atau pada masa kuliah sudah mampu menyediakan lapangan kerja.
“Mungkinkah masa depan gemilang akan
kita raih, kalau sehabis kuliah kita langsung pulang? Atau nongkrong? Atau
sekedar berkumpul dan berhura-hura tanpa menghasilkan sesuatu hal yang segar?”
Tanyaku tajam kepada diriku sendiri. Sejenak aku terdiam dan tersentak dengan
pertanyaan ini. Perlahan ku telaah lagi, apa maksud dari kata hatiku ini.
Kemudian titik terang pun merangkak muncul. Jawabannya adalah mungkin saja,
tapi berapa persen kemungkinannya? Berapa waktu yang dihabiskan untuk mencapai
sukses? Dan berapa banyak orang yang seperti ini akan sukses? Kita tidak akan
pernah tau apa yang akan terjadi. Biarkan sajalah ini menjadi misteri.
Satu hal yang aku pelajari dari
pertanyaan itu. Tidak semua orang merasa seperti itu, mungkin dari sekian
banyak mahasiswa di Indonesia ini, hanya aku lah yang bertanya seperti itu
kepada diriku sendiri, malam ini. Tapi tak mengapa, toh aku menemukan
jawabannya. Aku hanyalah seorang manusia yang banyak kekurangan, yang terlalu
sombong dan menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain. Sangat egois sampai
tidak menghargai orang lain. Pernah aku belajar bahwa, ketika aku tidak
menghargai orang lain, berarti aku kurang menghargai diriku sendiri.. Ternyata
itu sangat benar!
Terkadang, ada sedikit mahasiswa
diluar sana yang aktif dalam organisasi. Bisa dibilang hanya 5-7 orang yang
benar-benar bergerak dan berjuang, dari 1000 orang mahasiswa di kampus. 10-25
orang yang hanya ikut-ikutan organisasi, tanpa memetik satupun pelajaran
disana. Kemudian sekitar 80-100 orang mahasiswa yang bekerja dan mau dipimpin
oleh orang lain. Sisanya bisa dibilang, mahasiswa pasif yang kerjaannya hanya
mengeluh ini itu tanpa berbuat apa-apa.
Mengapa bisa terjadi?
Pengaruh positif seseorang itu mudah
sekali menular, apalagi pengaruh negatif. Ibarat pengaruh positif adalah kereta
api, maka pengaruh negatif adalah pesawat terbang. Satu orang provokator yang
mengompori mahasiswa untuk membenci dosen dan mata kuliahnya lebih diminati
dari pada sepuluh mahasiswa yang aktif menyuarakan aspirasi. Fenomena yang
terlihat pada mahasiswa zaman sekarang.
Terkadang, mahasiswa yang
menyuarakan katanya “aspirasi rakyat” juga tidak benar-benar peka untuk
mendengarkan suara rakyat. Mereka juga tidak benar-benar peduli dan tergerak
hatinya untuk membantu, atau mungkin Cuma sekedar mengetahui dengan pasti
kondisi masyarakat saat ini pun mereka enggan. Kebanyakan dari mereka, yang
hanya terbatas jumlahnya ini mengetahui kondisi rakyat ya dari media. Atau
mungkin mereka tau dari “bisikan” oknum politik yang bebas berkeliaran di dunia
kampus.
Sambil menikmati teh hangat, dan
beberapa kue kering aku hanya bisa menggelengkan kepala. Ada beberapa mahasiswa
yang ingin menyuarakan aspirasi, ternyata hanya ditunggangi oleh kepentingan
yang tak bertanggung jawab. Apa jadi nya bangsa ini kalau semua mahasiswanya
seperti itu?? Oh, mungkin tidak akan terjadi apa-apa. Negeri ini tidak akan
berubah. Berjalan ditempat, sedangkan negeri lain telah berlari mengejar
kemajuan zaman.
Kupikir, ini wajar saja terjadi.
Namanya saja mahasiswa, yang kuliahnya dibatasi waktunya selama 4 tahun.
Apalagi kampus negeri, akan dengan senang hati men-drop out mahasiswanya yang tidak segera menyelesaikan study. Mahasiswa harusnya begini,
mahasiswa harusnya begitu, banyak sekali tuntutan yang ditujukan kepada
mahasiswa, tuntutan-tuntutan ini menyesatkan.
Sedangkan mahasiswa pasif, dengan
santainya menikmati indahnya masa kuliah. Sehabis belajar satu mata kuliah, mereka
pergi ke kantin, kemudian ke kos. Tugas selalu nyontek, kuliah juga kadang titip
absen. Herannya, kuliahnya bisa selesai tepat waktu. Walau kuliahnya
terlihat malas-malasan. Tapi jangan salah, mahasiswa yang seperti ini kadang
suka diterima kerja di perusahaan besar, menjadi pembesar perusahaan, atau
menjadi seorang pejabat di pemerintahan.
Ada juga mahasiswa pasif yang
lulusnya terlambat, yah karena kebodohannya sendiri. Terlalu santai dan
menganggap remeh temeh semua hal. Kemudian, terhambat lulus dan kena getahnya.
Untungnya, mahasiswa jenis ini kena getahnya pada saat menjadi mahasiswa. Jadinya
maklum, karena mereka bisa memperbaiki diri sedini mungkin. Orang-orang ini
yang suksesnya lebih cepat di kehidupan nyata.
Kampus itu simulasi kehidupan. Ada
banyak faktor2 di dunia nyata dikesampingkan dulu di dunia simulasi. Dunia
simulasi itu dunia yang aman, sedangkan dunia nyata itu dunia yang keras.
Sekarang, mahasiswa yang manakah yang menyadari kerasnya dunia nyata itu lebih
dulu? Yang tau dan mau berubah, serta pandai menyesuaikan diri. Dialah yang
survive.
Di dunia primitif, yang kuatlah yang bertahan. Tampaknya
sekarang juga masih berlaku.
By. Bara Lavashva
Provokator mahasiswa, Generasi
Berbahaya Kampus STIEBBANK Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar